Bagaimana Pemerintah Mengatur Jumlah Uang Beredar dan Pajak
Krisis keuangan yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia dewasa ini menyadarkan akan pentingnya stabilitas system keuangan. Ketidakstabilan system keuangan menimbulkan dampak yang sangat buruk yakni menurunnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan serta besarnya biaya pemulihan ekonomi khususnya sector keuangan akibat krisis tersebut. Dampak dari kondisi tersebut maka stabilitas system keuangan wajib dipelihara untuk menjamin kepentingan public.
Pada intinya, stabilitas keuangan adalah terhindarnya dari krisis atau instabilitas keuangan. Stabilitas keuangan merupakan salah satu fungsi utama dari bank sentral modern, yang tidak kalah pentingnya dengan stabilitas moneter. Stabilitas keuangan mutlak diperlukan untuk mewujudkan dan memelihara stabilitas moneter. Hal ini sangat tepat dengan misi Bank Indonesia yang tercantum pada UU No.23 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.3 Tahun 2004 yakni “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas system keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan”. Namun demikian, secara lebih luas, tanggung jawab untuk memelihara stabilitas system keuangan tersebut merupakan tanggung jawab bersama lembaga terkait khususnya bank sentral, otoritas pengawas dan pemerintah.
Saat krisis ekonomi dan moneter menimpa bangsa – bangsa Asia termasuk Indonesia pada tahun 1997 – 1998 tepatnya pada periode bulan Juli – Agustus 1997 pemerintah menerapkan kebijakan empat kali menaikkan tingkat suku bunga SBI dari bulan Agustus sebesar 7% menjadi 30% dalam setahun. Pergerakan suku bunga SBI menjadi tolak ukur bagi pergerakan tingkat suku bunga lainnya. Sehingga kenaikan suku bunga SBI ini dengan sendirinya mendorong kenaikan suku bunga dana antar bank dan suku bunga deposito.