Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyusun makalah Perekonomian Indonesia ini dengan efisien dan tepat waktu. Makalah ini berkaitan dengan pemahaman Perekonomian Indonesia terutama mengenai Peta Perekonomian Indonesia. Makalah ini kami susun sebagai tugas pembelajaran yang diberikan oleh dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia yaitu Bpk. Aris Budi Setyawan.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
Orang tua kami yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai dengan tepat waktu khususnya dalam hal materi yang meringankan kami terhadap pembiayaan dalam penyelesaian makalah ini.
Kakak-kakak kami tercinta yang selalu memotivasi dan memberikan saran kepada kami disaat kami merasa putus asa dan kesulitan dalam menyelesaikan tugas ini.
Bpk. Aris Budi Setyawan selaku dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia yang telah memberikan pemahaman kepada kami sehingga kami memahami materi dan tugas yang diberikan agar mampu menyelesaikan makalah ini.
Teman-teman kelas 1eb21 yang senantiasa memberikan informasi mengenai perekonomian Indonesia.
Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua terutama teman-teman kelas 1eb21. Namun kami sadar bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu kami menerima kritik dan saran dari kalian semua.
Bekasi, 27 Maret 2011
Kristin Natalia
(Penulis)
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.
Para ekonom dan politisi negara sangat mendambakan dan menomorsatukan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pada setiap akhir tahun, negara selalu mengumpulkan data-data statistiknya yang berkenaan dengan tingkat pertumbuhan GNP relatifnya, dan dengan penuh harap mereka menantikan munculnya angka-angka pertumbuhan yang membesarkan hati. “Pengejaran pertumbuhan” merupakan tema sentral dalam kehidupan ekonomi Negara Indonesia maupun semua negara di dunia dewasa ini. Seperti kita telah ketahui, berhasil-tidaknya program-program pembangunan di negara kita sering dinilai berdasarkan tinggi-rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional.
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memiliki definisi yang berbeda, yaitu pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output per kapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi pendapatan. Sedangkan pembangunan ekonomi ialah usaha meningkatkan pendapatan per kapita dengan jalan mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen.
BAB II
PEMBAHASAN
Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998.
Sementara itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS pada bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38 persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Kinerja perekonomian Indonesia pada perjalanan tahun ini terus membaik, sehingga membangkitkan optimisme mampu mencapai target pertumbuhan 5-6 persen pada 2010.
Selain itu, daya saing Indonesia di pentas global juga meningkat tajam dan membuat iklim dunia usaha semakin bergairah.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, posisi ekonomi Indonesia hingga Mei 2009 sudah lebih baik dibandingkan saat kondisi krisis. Di tengah krisis keuangan global yang masih melanda, ternyata aliran modal yang masuk ke negara ini sudah mencapai US$ 2 miliar. ‘’Ini menggambarkan suatu perkembangan yang positif di tengah menyempitnya modal dunia,’’ ujar Menkeu kepada media di Gedung Departemen Keuangan, Senin (18/5).
Menurut Sri Mulyani, nilai US$ 2 miliar tersebut sudah dikurangi pembayaran utang private sector dan lain-lain. Angka US$ 2 miliar tersebut merupakan bagian dari US$ 165 miliar modal asing di dunia. ‘’Sehingga sudah menjadi sentimen positif,’’ ujarnya. Selain itu, katanya melanjutkan, hingga Mei tersebut tidak hanya neraca pembayaran yang positif. Kondisi current account (neraca berjalan) juga positif, sehingga cadangan devisa Indonesia pun meningkat signifikan pada tiga bulan pertama tahun ini.
Gambaran lain pertanda membaiknya ekonomi Indonesia dari krisis juga bisa dilihat dari peningkatan partisipasi asing dalam kepemilikan SUN. Data pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang mencatat, bila pada April lalu persentase SBN asing sebesar 14,6 persen senilai Rp 79,8 triliun, maka hingga 11 Mei 2009 naik 15,4 persen menjadi Rp 85,63 triliun. Jika ada indikator lainnya, itu adalah pertumbuhan ekonomi pada perjalanan tahun ini yang termasuk ketiga tertinggi di dunia setelah China dan India, sehingga menarik minat investor.
Meski demikian, Menkeu mengakui bahwa pertumbuhan tiga variabel (investasi, ekspor, dan impor) justru menurun selama kuartal pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama 2008 atau periode pertumbuhan tahunan. Namun kondisi seperti ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga terjadi pada negara-negara di dunia akibat anjloknya pasar ekspor regional maupun di kawasan Amerika.
Indonesia memang semakin menjadi lahan yang menarik minat asing untuk berinvestasi. Pernyataan Menkeu tersebut setidaknya juga mendapatkan pembenaran dari hasil riset pemeringkatan daya saing global, IMD World Competitiveness Yearbook 2009. Menurut data yang dirilis 7 Juni lalu oleh IMD, lembaga pendidikan bisnis berskala global yang bermarkas di Lausanne, Swiss, peringkat daya saing Indonesia meningkat ke level 42 dengan nilai 55,47 dari posisi sebelumnya di peringkat 51. Peringkat pertama masih ditempati Amerika Serikat dengan nilai 100.
Peringkat Indonesia masih lebih baik dibandingkan Filipina, yang turun ke posisi 43 dari ranking sebelumnya 40. Namun Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Singapura berada di posisi ketiga dengan nilai 95,74, namun turun karena sebelumnya ada di peringkat kedua. Malaysia diranking 18 atau naik dari posisi sebelumnya di peringkat 19. Peringkat daya saing Thailand juga naik menjadi 26 dari posisi 27.
Pemeringkatan ini mengacu pada daya saing ekonomi masing-masing negara berdasarkan data 2008. Menurut IMD, pemeringkatan ini memperlihatkan bagaimana negara dan bisnis di sebuah negara mampu dikelola oleh pemerintahannya guna kemakmuran yang lebih besar bagi rakyatnya. Namun, sebelum IMD melansir hasil risetnya itu, hampir sepekan sebelumnya Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan adalah 4-5 persen. Berarti angka pertumbuhan ini lebih rendah dari perkiraan pemerintah yang sebesar 5-6 persen. BI mengeluarkan asumsinya ini berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) Dunia yang tahun ini minus 0,5 persen menjadi 1,5 persen pada 2010 dengan volume perdagangan yang juga minus 3,9 persen menjadi 2,1 persen pada 2010. Selain itu, ujar Deputi Senior BI Miranda Goeltom yang sekarang sebagai penjabat sementara Gubernur BI menggantikan Boediono yang maju sebagai cawapres, harga komoditas pada 2009 yang sebelumnya minus 9,4 persen diperkirakan mengalami kenaikan dengan prediksi ekspor pada level 3,5 persen hingga 4,5 persen pada 2010. Tetapi Miranda menyatakan bahwa proyeksi pertumbuhan masih bisa lebih tinggi asalkan investasi proyek-proyek besar, seperti infrastruktur, listrik, jalan tol mampu direalisasikan 2010. Meski demikian, Miranda mengingatkan dalam sejarahnya kenaikan pertumbuhan ekonomi itu tidak pernah lebih 1 persen per tahun.
Sedangkan inflasi diperkirakan 5-6 persen seturut dengan kenaikan kegiatan ekonomi dalam negeri dan kenaikan harga komoditas. Jika perbaikan ekonomi mampu lebih cepat, maka kemungkinan inflasi di bawah 5 persen juga bisa tercapai. Pemerintah sebelumnya memperkirakan inflasi pada 2010 adalah 4,5-5,5 persen.
Untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan pada 2010 diproyeksi mencapai 7,5 persen dengan asumsi inflasi yang terkendali dan nilai tukar stabil. Pemerintah berpandangan tingkat bunga SBI 3 bulan lebih rendah dibandingkan proyeksi BI sebesar 6-7 persen. Pencapaian itu tergantung dari kondisi pasar mengingat ditentukan melalui proses lelang. Saat ini selisih antara BI Rate dan SBI sebesar 50 basis poin.
‘’Kami berharap keketatan likuiditas bisa dijaga, sehingga selisih suku bunga BI Rate dengan SBI diharapkan turun dari 50 basis poin menjadi 25 basis poin,’’ tutur Miranda. Asumsi BI memang bisa saja berbeda dengan pemerintah. Namun, menurut Ketua Umum Kadin MS Hidayat, angka pertumbuhan 5-6 persen yang diasumsikan pemerintah pada 2010 masih bisa direalisasikan. "Saya pikir realistis dan aman," katanya kepada VIVAnews di sela-sela acara ‘’Ring Politik’’ bersama SBY di Grand Indonesia Kempinski, Jakarta, 4 Juni lalu. Hidayat menilai asumsi pemerintah tersebut realistis mengingat pola konsumsi sudah mencapai 4,5 persen. ‘’Pertumbuhan itu kan tergantung pada capital inflow yang datang dari dalam dan luar negeri," tuturnya. ‘’Jika capital inflow tidak tercapai, maka pertumbuhan tidak akan tinggi.’’ Dia menyatakan, untuk mencapai pertumbuhan 6 persen dengan tingkat inflasi 5,5 persen membutuhkan biaya pembangunan (capital inflow) sebesar Rp 1.500 triliun. ‘’Tidak mungkin ini bisa diatasi dengan domestik saja, harus mengundang investor luar.’’
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional 2011 bisa mencapai 7% kalau pemerintah mampu mengatasi faktor-faktor penghambat pertumbuhan.”Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 cukup baik. Tahun depan beberapa lembaga memprediksi pertumbuhan ekonomi antara 6,3 persen sampai 6,5 persen. Kadin beranggapan ekonomi bisa tumbuh sampai 7% kalau syarat-syarat yang dibutuhkan terpenuhi,” katanya saat menyampaikan keterangan pers di kantor Kadin Indonesia, Jakarta, Kamis.
Syarat-syarat yang dia maksud antara lain pembangunan infrastruktur energi, jalan, dan pelabuhan serta perbaikan sistem logistik nasional.Di samping itu, menurut Suryo, pemerintah bersama pelaku usaha juga harus bahu membahu menyelesaikan persoalan dunia usaha.
Kadin Indonesia, ia melanjutkan, mengusulkan sepuluh program aksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen tahun depan. Pertama, menurut Kadin, pemerintah sebaiknya menaikkan level defisit yang selama ini ditetapkan 1,7 persen menjadi minimal 2,5 persen supaya tersedia cukup dana untuk memacu pergerakan sektor riil.
“Dana itu seyogyanya diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, bandara, kereta api dan lahan untuk kawasan industri,” katanya. Selanjutnya, Kadin Indonesia merekomendasikan pemerintah menitikberatkan orientasi pembangunan pada industri manufaktur bernilai tambah tinggi di sektor pangan, pertanian, maupun pertambangan supaya Indonesia tak lagi menjadi pengekspor bahan mentah.
“Ketiga, Kadin mengusulkan pemerintah menetapkan insentif fiskal dan moneter untuk mendukung upaya swasembada energi dan pangan,” katanya. Organisasi pengusaha itu juga menyarankan pemerintah memperbaiki kebijakan-kebijakan makro bidang investasi, perdagangan, dan perbankan yang selama ini menghambat upaya korporasi dalam meningkatkan daya saing.
Selain itu, menurut Suryo, pemerintah harus mendorong perbankan mengarahkan untuk investasi sektor riil, utamanya untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur yang sampai sekarang masih menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi. Pemerintah, ia melanjutkan, juga harus mengupayakan penurunan tingkat suku bunga menjadi di bawah 10% seperti di negara-negara pesaing. “Supaya daya saing industri kita lebih kuat dan pertumbuhan sektor riil terpacu,” katanya.
Program aksi lain yang direkomendasikan Kadin Indonesia adalah pembuatan rencana pengembangan industri prioritas, kampanye penggunaan produk dalam negeri dan peningkatan investasi di daerah. “Kalau usul-usul itu dijalankan kami yakin pertumbuhan ekonomi bisa sampai tujuh persen”.
BAB III
KESIMPULAN
Indonesia tengah berusaha meningkatkan kinerja produksi dalam negeri, khususnya meningkatkan kemandirian usaha melalui berbagai kebijakan ekonomi (kredit usaha kecil, PNPM mandiri, kredit Usaha Tani, dan berbagai subsidi pemerintah untuk menumbuhkan ketahanan ekonomi dalam negeri). Upaya tersebut di atas ditujukan untuk melahirkan efisiensi ekonomi dalam negeri, sehingga pengusaha lokal mampu meningkatkan skala ekonomi yang pada akhirnya mampu menyediakan hasil produksi yang dapat diterima masyarakat pada tingkat harga terjangkau (murah).
Upaya di atas didukung pula oleh aksi anti korupsi yang diarahkan untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi. Ketika berbagai pungutan liar, serta penyalahgunaan kewenangan anggaran, dan berbagai penggelembungan anggaran telah terkurangi, bahkan dihilangkan, maka efisiensi produksi nasional relatif akan tercapai.
Berbagai usaha di atas tengah dilakukan, efisiensi ekonomi masih merupakan tujuan, hal ini mengandung arti bahwa harga barang dan jasa yang diproduksi perusahaan dalam negeri baik kecil, menengah, maupun besar relatif masih mahal, jika proses produksi menggunakan bahan baku impor maka tentu harga komoditas tersebut semakin mahal, sebab kurs dollar terhadap rupiah masih tinggi.
Kondisi di atas mencerminkan bahwa Indonesia sesungguhnya belum siap melakukan perdagangan bebas dengan negara lain, apalagi dengan negara yang telah mencapai efisiensi ekonomi. Jika kita tetap melakukannya maka produsen dalam negeri akan kehilangan konsumen faktual dan konsumen potensialnya, sebab mereka akan beralih kepada komoditas impor yang lebih murah.
Menyikapi perdagangan bebas ASEAN-China, khususnya Indonesia-China, sesungguhnya merupakan perdagangan bebas yang tidak adil. Kita mengenal sistem ekonomi China belum bisa dikatakan keluar sepenuhnya dari sistem ekonomi terpimpin (Command economic System), berarti komoditas yang dihasilkan China merupakan komoditas nasional, meskipun dihasilkan oleh produsen swasta dapatkah kita menjamin hilangnya keterlibatan Pemerintah China dalam proses produksi (hilangnya subsidi pemerintah, serta bantuan pemerintah lainnya terhadap pengusaha). Pada kondisi seperti ini sesungguhnya produsen swasta Indonesia tengah bersaing dengan negara China sebagai produsen, akan mampukah produsen Indonesia bersaing dengannya ?. Kesulitan bersaing produsen swasta Indonesia dengan produk China terletak pada tingkat efisiensi yang dicapai oleh masing-masing produsen. Tingkat efisiensi produksi produsen swasta Indonesia tentu kalah oleh tingkat efisiensi produksi China, sebab berbagai unsur pendukung tercapainya efisiensi di China sepenuhnya merupakan kebijakan Pemerintah China, sebab negaranya merupakan produsen, dan tingkat ekonomi biaya tinggi di negara China relatif sangat rendah.
Sumbang saran kami untuk mengurangi dampak negatif perdagangan bebas Indonesia-China terhadap Produsen Indonesia adalah :
a). Mempercepat proses pencapaian efisiensi ekonomi melalui pengembangan sarana dan prasarana pasar komoditas lokal (Pengembangan sarana pasar tradisional, menjadi saran pasar tradisional modern). b). Pengembangan komoditas yang berbasis bahan baku lokal.
c). Meniadakan praktik ekonomi biaya tinggi yang bersumber dari berbagai pungutan liar yang berkenaan dengan perizinan serta faktor-faktor administratif lainnya, korupsi, pembengkakan anggaran (mark up), dan praktir kotor lain yang berkenaan langsung dengan meningkatnya biaya produksi.
d). Menutup impor barang dan jasa yang telah diproduksi di Dalam Negeri.
e). Memperluas jaringan kerjasama usaha di dalam negeri, sehingga produsen dalam negeri memperoleh kemudahan dalam penyediaan bahan baku, sumber dana, serta kemudahan melakukan promosi pada berbagai media massa.
f). Meningkatkan subsidi pemerintah khususnya untuk barang yang diproduksi swasta namun berkaitan dengan hajat hidup rakyat (misalnya komoditas minyak dan gas alam beserta distribusinya, komoditas pangan terutama beras, komoditas pakaian dan derivasinya, jasa komunikasi dan transfortasi, air minum, air bersih, listrik dan komoditas publik lainnya), hal ini dilakukan agar dicapai efisiensi lebih cepat. (ingat kewajiban yang diemban negara dari UUD-45, pasal 33).
Perdagangan bebas antar negara yang memiliki tingkat efisiesi yang seimbang memang menguntungkan, khususnya bagi pemenuhan kebutuhan konsumen terhadap produk yang tidak diproduksi di dalam negeri, namun jika perdagangan bebas dilakukan antara negara yang telah memperoleh efisiensi karena sistem ekonomi dan keterlibatan negara sangat mendukung dengan negara berkembang yang belum mencapai tingkat efisiensi dalam perekonomiannya, maka yang terjadi adalah ketidak adilan. Jika perdagangan bebas memperdagangkan barang yang telah di produksi di dalam negeri negara yang tidak efisien, maka perdagangan bebas merupakan penghancuran produsen dalam negeri.
Pergaulan ekonomi dunia bukan ajang pemelaratan manusia, namun alat untuk mensejahterakan manusia, jika ternyata perdagangan bebas melahirkan kesengsaraan rakyat Indonesia, sebaiknya Indonesia menunda perdangan bebas sampai dicapai tingkat efisiensi ekonomi nasional dan siap bersaing.
DAFTAR PUSTAKA
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/03/12/pertumbuhan-perekonomian-indonesia-naik/
http://www.forsas.info/index.php?view=article&catid=42%3Ahalaman3&id=107%3Aperekonomian-indonesia-semakin-menjanjikan-&format=pdf&option=com_content&Itemid=61
http://www.bappenas.go.id/node/45/729/perkembangan-ekonomi-indonesia-/
http://indocashregister.com/2011/01/07/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2011-bisa-capai-7-persen/
http://bwfitri.wordpress.com/2010/01/07/perdagangan-bebas-indonesia-china-sinyal-krisis-ekonomi-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar